Tak Ada Ujian yang Lebih Berat dari Kesabaran


Allah tidak pernah memberi ujian melebihi batas kemampuan. Seketika aku flash back tiga tahun lalu. Bagaimana kesulitan mengandung di zaman covid pas lagi ganas-ganasnya. Sembari menemani orang tua yang sakit. Mata tiap malam bisa dibilang tidak bisa tidur. Belajar toilet training si sulung, belum lagi merasakan ‘sakit’ khas orang hamil.

Siap siaga kalau orang tuaku minta air, atau kebutuhan lainnya. Ketika tahun ini diberikan ujian anak sakit tengah malam, jadi aku udah siaga. Enggak ‘kaget’ lah. Enggak yang panik. Setiap hari ialah belajar untuk sabar, menghadapi tantrumnya, rengekan atau pola tingkahnya.

Hidup ialah perjalanan menuju keabadian. Jadi rindu orang tua. Kadang beliau muncul dalam mimpiku. Seolah-olah masih ada dan memelukku. Seperti isyarat … Untuk tidak berhenti berjuang. Meskipun setelah itu beliau pamit pulang.

Oh begini ya jadi orang tua. Masih kecil kadang aku heran dengan rutinitas begitu padatnya beliau. Aku terbiasa dibangunkan di sepertiga malam buat belajar. Sementara beliau rutin mengadu pada Rabb-Nya. Tugas sekolah dulu lumayan banyak, beliau enggak bisa membantu karena buta aksara. 

Sehingga aku dibiarkan tidur tidak sampai pukul 20.00 dan menjelang subuh dibangunkan untuk mengerjakan PR yang belum selesai. Sebenarnya aku tidak tahu mau ngisi apa, namun bolak-balik aku baca soal dan materinya. Ya aku isi sebisanya dan tinggalin yang enggak bisa. Esok pagi berangkat sebelum jam 06.00 dan bermain sama temanku, ya teman sebangkuku termasuk cerdas. Kadang aku juga diajari soal matematika dan tidak pernah dikasih contekan. Menurutnya aku harus belajar sendiri, usaha.

Bedanya zaman dulu serba terbatas informasi, aku juga sempat belajar (les) sama guruku bersama teman-teman. Lesnya pun gratis, guruku sangat senang dengan anak-anak yang belajar. Walaupun kami melihat terkadang guruku ketiduran saat mengajar kami karena serangan kantuknya.

Orang tuaku mendidik-ku dengan lemah lembut. Memberi banyak nasihat dan petuah. Suka bercerita dan aku beruntung tinggal dan dibesarkan oleh beliau.

Menjelang wafatnya ia berpesan tiga hal seperti merawat anak sendiri dengan kasih sayang. Jangan keras sama anak-anak, ini anaknya beda dari yang lain. Terus jangan suka berantem sama pasangan yang akur. Kamu harus mengalah walaupun kamu merasa benar. Orang yang mengalah itu nanti bisa masuk Surga. Sabar yang banyak, pertebal imannya.

Jazakillah Khairan semoga menjadi pahala jariyah untukmu, Umi.

Tidak pantas aku menangis, meratapi kepergianmu. Karena yang punya nyawa ialah Allah. Perbanyak rasa syukur, semua atas karunia dari Allah.

Umi selalu bilang jangan suka boros, kalau punya uang disimpan, siapa tahu nanti butuh enggak ada yang tahu. Kalau suka boros itu temannya setan.

Umi lebih suka berjuang dengan berjualan keliling daripada meminta. Ia benar-benar bekerja keras menghidupiku dan membiayai.

Bahkan aku belum sempat membalas jasa-jasanya yang luar biasa dilimpahkan kepadaku.

2 Comments

Komentar ditutup.